Kamis, 13 Juni 2013

Jangan Sampai Presiden Indonesia Mendatang Seperti Figur Jokowi

JOKOWI
RMOL. Wacana bahwa Joko Widodo layak menjadi presiden RI mendatang sengaja dibesar-besarkan. Tujuannya untuk menghipnotis masyarakat dan mengalihkan perhatian atas tidak adanya janji-janji Gubernur DKI Jakarta itu yang terealisasi.

"Terlalu dini tentu dan jika itu terjadi, tampaknya kini masyarakat Indonesia akan diajari kembali oleh sekelompok orang, yakni diajari cara memilih pemimpin gagal," ujar pengamat sosial-politik Mustofa Nahrawardaya (Rabu, 12/6).

Menurutnya, bagi warga Solo mungkin sebuah kebanggaan bekas walikotanya bisa naik jabatan menjadi Gubernur di Ibukota. Tetapi, bagi sebagian warga DKI, ini menjadi mimpi buruk. 

Apalagi dilengkapi dengan perilaku Wakilnya, Basuki T. Purnama yang terkesan sarat dengan kesombongan dan kepongahan kepada rakyat miskin.  Bagaimana mungkin Indonesia akan meniru cara warga DKI yang memilih pemimpin hanya karena sukses memenej isu dan memusuhi warga miskin seperti itu?

Karena itu, ia menegaskan, presiden mendatang sebaiknya bukan dihasilkan dari proses tipu-tipu program. Presiden mendatang jangan dihasilkan dari transaksi politik murahan. Demografi kemiskinan yang masih banyak di Indonesia, memang berpotensi mudah dihipnotis mata dan telinganya. Ditambah keterbatasan ilmu dan teknologi, masyarakat kita akan masih bisa dengan mudah ditipu matanya.

"Kamuflase-kamuflase mungkin akan sukses membohongi banyak orang. Dikiranya emas permata, ternyata itu imitasi belaka. Sebaiknya pilih calon presiden yang punya catatan prestasi, bukan calon presiden imitasi. Jika Jokowi ingin jadi Presiden, silahkan tahun 2014 Hijriyah," ketusnya.

"Selesaikan dulu membangun Jakarta, hingga akhir jabatan jika ingin memiliki catatan prestasi gemilang. Tanpa itu, tiada guna," demikian Mustofa.

Makanya, dia menilai, rencana pelaksanaan Kongres Relawan Jokowi se-Dunia di Bandung yang salah satu tujuannya meminta politikus PDIP itu untuk nyapres lebay dan tidak mendidik.  [zul]

Rabu, 15 Mei 2013

10 Tokoh Daerah Layak Jadi Capres di 2014

Fadel Muhammad (Foto: Dede K/Okezone)
JAKARTA - Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 mendatang disebut-sebut akan diramaikan oleh pemain-pemain lama seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Wiranto, dan Jusuf Kalla.
 
Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yudha mengatakan bahwa sebetulnya banyak figur potensial dari daerah yang layak menjadi kandidat alternatif calon presiden di 2014. Namun, sayangnya mereka kurang mendapat tempat di media massa.
 
Berdasarkan hasil survei opinion leaders yang dilakukan oleh Pol Tracking sejak Januari-Maret 2013 yang melibatkan 100 juri yang terdiri dari para akademisi, pakar politik, politikus senior, tokoh budaya, praktisi pemerintahan, pimpinan NGO/LSM, jurnalis senior, tokoh pemuda dan mahasiswa, menemukan sejumlah nama figur daerah yang cukup potensial.
 
Mereka yaitu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, mantan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Bupati Kutai Timur Isran Noor, mantan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, mantan Wali Kota Blitar Djarot Syaiful dan Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang.
 
Dari 10 aspek yang dinilai meliputi integritas, intelektualitas, visioner, leadership skill, pengalaman, keberanian keputusan, komunikasi publik, aspiratif dan reposenif, penerimaan publik dan penerimaan partai, nama Gubernur DKI Joko Widodo menempati skor tertinggi sebagai figur yang layak maju sebagai capres dengan skor 82,54 persen.
 
Sementara diurutan kedua Tri Rismaharini (76,33), Fadel Muhammad (70,38), Syahrul Yassin Limpo (70,31), Isran Noor (70,14), Gamawan Fauzi (70,01), Agustin Teras Narang (69,93), Herry Zudianto (69,78), Sinyo Harry (68,39), dan Dajrot Syaifuk Hidayat (68,38).
 
Hanta mengatakan, 10 figur itu layak untuk diberi kesempatan maju sebagai capres. Selama ini, dari 10 figur itu baru beberapa nama saja yang dikenal publik atas prestasinya.
 
Seperti Fadel Muhammad yang sukses memeloporkan pangan jagung di Gorontalo, inovasi pelayanan publik yang dilakukan oleh Gamawan Fauzi waktu menjabat Bupati Solok dan Gubernur Sumatera Barat, penghijauan kota Surabaya dilakukan oleh Tri Rismaharini.
 
"Mereka belum mendapat porsi yang besar di media. Mereka belum mendapat momentum media darling dari media massa seperti yang terjadi oleh Jokowi. Kita beri kesempatan yang sama kepada mereka. Jangan menunya (capres) yang itu-itu terus, jenuh juga," kata Hanta di Morrissey Hotel Jakarta, Minggu (5/5/2013).
 
Dengan munculnya nama-nama itu, lanjut Hanta, dia berharap para figur potensial itu mendapat dukungan dari partainya masing-masing. Seperti Jokowi dari PDIP, Fadel Muhammad dan Syahrul Yasin Limpo dari Partai Golkar, dan Gamawan Fauzi dari Partai Demokrat.
 
"Supaya mereka mendapat kesempatan dari partai-partainya. Kalau mereka diberi ruang dalam konvensi misalnya, mereka punya ruang," tuturnya.
(lam)

Senin, 11 Februari 2013

SBY dan 36 Capres 2014


INILAH.COM, Jakarta - Respons Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap 36 tokoh yang ingin maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2014, cukup konstruktif. SBY meminta media/pers bersikap obyektif dan adil serta tidak tebang pilih dalam memberitakan para tokoh itu. Agar rakyat punya banyak pilihan.
"Sekarang ada 36 (orang). Yang penting masing-masing memperkenalkan dirinya, dan media massa jangan terlalu 'tebang pilih' kepada mereka. Maka, berikan peluang pada mereka secara obyektif, adil dan fair, sehingga pada2014 muncul tokoh yang dipilih oleh rakyat dan disukai rakyat," tegas SBY.
SBY mengaku menyambut baik keinginan puluhan individu tersebut. Baginya, dengan banyak calon itu baik, sebab makin banyak yang ingin memimpin dan berbuat lebih baik bagi rakyat, maka patut disyukuri.
“Banyak pilihan, semua harus calon mendapat peluang untuk tampil," kata Presiden SBY saat menyampaikan kuliah umum tentang telaah demokrasi nasional 2013 dalam acara yang diselenggarakan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Jakarta, Selasa (15/1).
SBY menilai ada 36 capres yang bakal tampil dan perlu peliputan media yang adil dan seimbang. Ke-36 tokoh kandidat Capres itu di antaranya, Aburizal Bakrie, Anas Urbaningrum, Anies Baswedan, Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, Din Syamsuddin, Djoko Suyanto, Hari Tanoesoedibjo, Hatta Rajasa, Hidayat Nur Wahid, Jokowi, Jusuf Kalla, Kristiani Herrawati, Luthfi Hasan, Mahfud MD, Marzuki Alie, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subyanto, Pramono Edhie, Puan Maharani, Rhoma Irama, Rizal Ramli, Sri Mulyani, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, Suryadharma Ali, Wiranto, serta Yusril Ihza Mahendra,
Demokrasi Indonesia menuntut kematangan masyarakat kalau ingin maju. Demokrasi substansial harus diwujudkan dengan membentuk pemerintahan yang bersih dan antikorupsi, serta memiliki rencana pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Krisis ekonomi di AS dan Eropa harus jadi pelajaran berharga.
Dalam kaitan ini, kematangan demokrasi bakal mendorong tumbuhnya kehidupan sosial kemasyarakatan yang baik sehingga mendorong semua sektor kehidupan berkembang termasuk peningkatan kapasitas ekonomi yang berujung pada kesejahteraan rakyat.
Manakala demokrasi sudah matang dan stabil, ekonomi akan tumbuh baik, karena dukungan publik makin kuat, sense of belonging dan ownership juga menguat sehingga keadilan dan kesejahteraan akan tumbuh dengan baik.
Jika tak ada aral, kematangan demokrasi Indonesia akan terwujud pada 10 tahun hingga 15 tahun mendatang. Baik demokrasi maupun ekonomi sama pentingnya dan harus dapat berjalan beriringan, dengan penegakan hukum yang kuat dan checks and balances yang terjaga.
Tentu, selalu ada pertanyaan apakah suatu negara mengutamakan demokrasi atau ekonominya? Sejarah mencatat bahwa di Indonesia era Orde Baru, ekonomi berkembang namun dalam situasi demokrasi yang tidak bebas dan kemudian sejarah juga mencatat ada reformasi yang mengoreksi hal tersebut.
Sayang bahwa demokrasi kriminal justru kian merebak di negeri ini pada era reformasi akibat merajalelanya korupsi. Untuk itu, harus ada kontrol dan koreksi dari civil society agar pemilu presiden 2014 berjalan bersih, jujur dan adil, sehingga bangsa ini terbebas dari ketidakpastian reformasi dan memburuknya iklim demokrasi akibat korupsi dan politik transaksional. Akankah itu terwujud? Yang jelas, jalan ke depan makin terjal. [berbagai sumber]

Capres 2014 Jangan Remehkan Jabatan RI-1


INILAH.COM, Jakarta - Rhoma Irama dan Farhat Abbas mencalonkan diri sebagai Presiden RI dalam Pemilu Presiden (Pilpres 2014). Rhoma seorang pedangdut terkenal dan Farhat seorang pengacara yang populer di kalangan selebriti. Secara normatif keduanya memiliki rekam jejak sesuai dunia dan profesi mereka masing-masing.
Sekalipun hak untuk mencalonkan diri sebagai presiden merupakan hak azasi setiap orang dan merupakan bukti hadirnya demokrasi di Indonesia, tetapi pencalonan mereka terkesan 'tidak serius' atau masih terlalu prematur.
Sehingga tidak heran bila deklarasi pencalonan diri mereka tidak menimbulkan reaksi seperti halnya deklarasi Aburizal Bakrie, Ketua Umum DPP Golkar dan Prabowo Subianto, pendiri Partai Gerindra.
Deklarasi pencalonan Rhoma dan Farhat lebih dilihat seperti sekadar mau menguji reaksi masyarakat. Sejauh mana masyarakat akan bereaksi terhadap manuver (politik) mereka. Kalau dalam istilah yang sedang trending, pencalonan itu baru untuk 'test the water' saja.
Kesan lainnya, Rhoma dan Farhat sedang 'jualan' wacana sekaligus menguji tingkat popularitas mereka di tengah masyarakat. Apakah masyarakat yang galau karena tengah menghadapi keadaan yang serba gaduh bisa melirik dan terpengaruh dengan manuver mereka? Atau apakah masyarakat yang merasa banyak dikecewakan oleh kepemimpinan SBY mau melirik mereka sebagai calon alternatif ?
Rhoma dan Farhat bukanlah orang yang tidak paham terhadap sistem politik di Indonesia. Momentum yang mereka pilih, didasarkan pada pemahaman politik yang mereka kuasai.
Rhoma misalnya walaupun saat ini secara resmi tidak terikat pada satu di antara 10 partai politik peserta Pemilu Legislatif April 2014, tetapi sejatinya ia juga seorang politisi. Jadi Rhoma tergolong selebriti yang cukup melek politik.
Pada Pemilu di 1977 dan 1982, Rhoma sudah menjadi 'vote getter' bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sehingga secara kontekstual, ia cukup paham tentang perpolitikan di Tanah Air.
Rhoma pasti mengerti tentang sistem pencalonan presiden di era Orde Baru di zaman reformasi. Di Pilpres Juli 2014 nanti, seorang figur hanya mungkin menjadi calon presiden (capres) apabila dicalonkan oleh partai yang meraih kursi di DPR-RI minimum 20% dari 560 kursi yang tersedia.
Ketentuan "Presidential Threshold" ini, bisa dilihat sebagai salah satu usaha dari parpol yang ada untuk mencegah calon-calon yang tidak punya kendaraan politik seperti Rhoma dan Farhat. Ini artinya, belum apa-apa, Rhoma dan Farhat jauh-jauh hari sudah terkendala.
Rhoma saat ini memang sudah dilirik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meskipun keputusan partai itu masih belum final. Kalaupun jadi dicalonkan PKB, belum tentu mulus menjadi Capres mengingat saat ini saja partai pimpinan Muhaimin Iskandar itu baru memiliki 28 kursi, masih jauh dari minimal 112 kursi di DPR-RI. Rhoma sebenarnya sedang 'jualan' ke partai-partai politik lain peserta Pemilu Legislatif 2014 itu.
Farhat juga kurang lebih sama dengan Rhoma. Walaupun dari segi usia, suami penyanyi Nia Daniati ini, jauh lebih muda, tetapi cukup melek politik. Sebagai seorang pengacara tentu juga Farhat mengikuti semua perubahan dan perkembangan dalam sistem politik. Dia tahu dengan memasang baliho tentang dirinya di berbagai tempat, hal itu juga sama dengan baliho para tokoh lainnya yang juga tengah mengincer posisi RI-1. Semuanya sedang 'berjudi'.
Persoalan yang tiba-tiba mengemuka dari adanya pencapresan kedua selebriti itu adalah bukan soal pantas dan tidak patutnya mereka menjadi Presiden RI. Melainkan telah menimbulkan kesan jabatan RI-1 sudah didegradasi dan cukup diremehkan. Seolah-olah menjadi Presiden RI per tahun 2014 cukup bermodalkan popularitas dan tekad semata. Persyaratan-persyaratan yang tidak tertulis ataupun rekam jejak seorang capres, tidak lagi diperlukan.
Seseorang yang sudah populer, tak peduli popularitas itu dicapai dari segi apa, sudah cukup menjadi modal kuat untuk menjadi capres bahkan Presiden RI. Seorang figur, kalau sudah sering diberitakan oleh media atau menjadi "media darling", otomatis sudah menjadi sosok yang diterima masyarakat.
Kalau sudah diterima masyarakat sebagai sosok yang terkenal, otomatis masyarakat sudah akan bersetuju untuk memilihnya sebagai Orang Nomor Satu di Indonesia. Begitu sederhana pola argumentasinya.
Rhoma dan Farhat sepertinya terpengaruh oleh kurang gregetnya Presiden SBY sebagai Presiden selama dua periode (2004-2009 dan 2009-2014). Kritik masyarakat terhadap SBY mengalir terus, sehingga jika Rhoma dan Farhat menjanjikan akan lebih baik dari SBY, masyarakat pun otomatis akan melihat mereka sebagai figur yang lebih kapabel.
Atau karena di era SBY, korupsi tetap merajalela, maka kalau capres sudah bisa bersumpah pocong seperti janji Farhat di balihonya, sang sosok, otomatis sudah memenuhi persyaratan untuk menjadi Presiden RI di 2014.
Rhoma dan Farhat mungkin lupa, di luar popularitas dan tekad, masih banyak persyaratan tak tertulis tapi sangat menentukan agar seseorang patut menjadi capres apalagi Presiden RI. Presiden RI di 2014 minimal harus punya konsep bagaimana NKRI lolos dari disintegrasi. Bagaimana membuat Indonesia punya kemampuan bersaing di dunia internasional.
Dan maaf beribu maaf, selama ini, Rhoma dan Farhat belum pernah sekalipun terdengar mewacanakan bagaimana konsep mereka dalam memperkuat persatuan nasional sekaligus keutuhan NKRI.
Sejarah SBY, mulai dari mengapa ia terpilih sebagai Presiden untuk dua kali masa jabatan, termasuk keberhasilan bercampur kegagalannya memimpin Indonesia, sebetulnya sudah cukup berbicara.
Bahwa untuk terpilih di 2004, SBY memerlukan dukungan masif, tidak hanya dari pemilih dalam negeri. Tetapi termasuk non-pemilih yang berada di luar negeri. Non-pemilih atau faktor eksternal ini tidak kelihatan dan mereka pun tidak ingin terlihat atau diketahui. Tetapi peran mereka sebagai "invisible power', cukup menentukan. Belum lagi dukungan dari kalangan dunia usaha.
Yang menjadi pertanyaan, apakah Rhoma dan Farhat memiliki dukungan atau jaringan seperti yang dimaksud di atas? Sejarah kepemimpinan SBY juga membuktikan, sekalipun Partai Demokrat yang menjadi kendaraan politiknya, secara telak memenangkan Pemilu Legislatif 2009, tetapi kenyataannya, SBY tidak berani memimpin Indonesia jika hanya mengandalkan Partai Demokrat. Ia harus berkoalisi.
Yang menjadi pertanyaan, apakah Rhoma dan Farhat sudah mendapat dukungan dari partai yang memiliki suara mayoritas di parlemen seperti yang diperoleh Presiden SBY? Atau siapakah kekuatan politik yang bersedia membentuk koalisi dengan mereka?
Tekad serta semangat Rhoma dan Farhat untuk menjadi Presiden RI di tahun 2014, perlu dihargai oleh siapapun. Tetapi pada saat yang sama mereka juga perlu diingatkan untuk bercermin diri.
Atau kalau Pilpres 2014 diumpamakan seperti sebuah pesta (demokrasi), maka untuk bisa hadir di hajatan nasional itu, Rhoma dan Farhat harus menjadi demokrat sejati. Mereka juga harus tahu ‘baju’ yang cocok yang mereka kenakan ke pesta demokrasi itu. Jangan sampai ‘baju’ yang dikenakan terlalu sempit ataupun kebesaran, sehingga tidak elok dipandang mata.
Keduanya juga perlu lebih tenang di dalam melihat dan menempatkan kursi RI-1. Kursi itu ada nilai sakralnya. Kursi itu hanya patut diduduki oleh figur yang berjiwa negarawan. Jangan sampai terjadi, hanya karena gara-gara semangat dan tekad yang terlalu menggebu, membuat mereka terlanjur meremehkan tugas, pekerjaan dan kewajiban seorang Presiden RI dan negarawan bangsa.
Pelajari ceritera dan filosofi "Telor Colombus". Jangan sesekali meremehkan seorang "pemimpin" yang sudah mencetak prestasi. [mdr]